TUGAS ILMU SOSIAL DASAR
Pelapisan Sosial dan Kesamaan
Derajat
Pelapisan Derajat
Pelapisan
sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau
pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Definisi sistematik
antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial
merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara
bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam
masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap
lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah
tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang
ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa
tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max
Weber.
Dasar-dasar
pembentukan pelapisan sosial diantaranya yaitu :
>
Ukuran kekayaan
>
Ukuran kekuasaan dan wewenang
>
Ukuran kehormatan
>
Ukuran ilmu pengetahuan
Kesamaan Derajat
Sebagai
warga negara Indonesia, tidak dipungkiri adanaya kesamaan derajat antar
rakyaknya, hal itu sudah tercantum jelas dalam UUD 1945 dalam pasal ..
1.
Pasal 27
•
ayat 1, berisi mengenai kewajiban dasar dan hak asasi yang dimiliki warga
negara yaitu menjunjung tinggi hukum dan pemenrintahan
•
ayat 2, berisi mengenai hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan
2.
Pasal 28, ditetapkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, menyampaikan
pikiran lisan dan tulisan.
3.
Pasal 29 ayat 2, kebebasan memeluk agama bagi penduduk yang dijamin oleh negara
4.
Pasal 31 ayat 1 dan 2, yang mengatur hak asasi mengenai pengajaran.
Contoh kasus Pelapisan sosial dan Kesamaan derajat
Kasus Ade Irma misalnya, setelah 2 tahun memperjuangkan haknya mendapatkan
pelayanan kesehatan, oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo baru bisa menerimanya.
Walau keberhasilannya itu, harus dibayar mahal dengan nyawanya yang tidak
tertolong. Ade, satu diantara sekian banyak pemilik sah kartu keluarga miskin
yang ditolak keluhan kesehatannya oleh rumah sakit.
Risma Alfian, bocah pasangan Suharsono (25) dan Siti Rohmah (24), sudah empat belas bulan tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Kepalanya yang terus membesar membuat Risma tidak bisa bangun. Sejak umur satu bulan, Risma sudah divonis terkena hydrocephalus (kelebihan cairan di otak manusia sehingga kepala penderita semakin besar).
Bidan tempatnya menerima imunisasi, meminta Risma segera menjalani operasi atas kelainan kepalanya itu. Operasi tidak serta merta bisa dilakukan lantaran butuh biaya yang begitu besar untuk mendanainya. Bahkan dengan memiliki kartu Gakin yang diperolehnya dengan susah payah, juga tidak mampu bisa membawa Risma dalam perawatan medis. Risma ditolak RSCM lantaran tidak indikasi untuk dirawat.
Dari contoh kasus di atas dapat kita simpulkan bahwa Masyarakat kita sekarang ini tidak mampu berobat ke rumah sakit karena dirasakan biayanya sangat mahal. Pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah pun belum menjangkau keseluruhan masyarakat.
Dari sekian banyak dokter spesialis di Indonesia, saya sangat yakin bahwa hanya segelintir persen yang benar-benar bisa diandalkan. Bobroknya moral dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai sejak awal proses bagaimana seseorang itu bisa masuk di fakultas kedokteran. Biaya kuliahnya aja udah selangit. Konon lagi mereka-mereka yang mengambil jalur ekstensi.
Biayanya pasti lebih tinggi. Parahnya lagi bagi mereka yang berduit dan kuliah di kedokteran hanya untuk menjaga gengsi. Motivasi mahasiswanya juga berbeda-beda kan. Bayangin aja jika salah satu bidang paling vital di negeri ini, yaitu bidang kesehatan ditangani oleh lulusan fakultas kedokteran yang bermotivasi untuk mendapat ”duit”.
Pantas saja begitu mahalnya harga kesehatan di Indonesia. Kebanyakan dari mereka (saya tidak mengatakan semua), membuka praktek dan menetapkan tarif mahal kepada pasiennya agar bisa ”balik modal”. Tanpa peduli apakah pasien itu kaya atau miskin. Ini bukan hanya pendapat saya, tapi ini adalah pendapat publik. Pasien hanya dijadikan komoditas untuk memperkaya dokter.
Risma Alfian, bocah pasangan Suharsono (25) dan Siti Rohmah (24), sudah empat belas bulan tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Kepalanya yang terus membesar membuat Risma tidak bisa bangun. Sejak umur satu bulan, Risma sudah divonis terkena hydrocephalus (kelebihan cairan di otak manusia sehingga kepala penderita semakin besar).
Bidan tempatnya menerima imunisasi, meminta Risma segera menjalani operasi atas kelainan kepalanya itu. Operasi tidak serta merta bisa dilakukan lantaran butuh biaya yang begitu besar untuk mendanainya. Bahkan dengan memiliki kartu Gakin yang diperolehnya dengan susah payah, juga tidak mampu bisa membawa Risma dalam perawatan medis. Risma ditolak RSCM lantaran tidak indikasi untuk dirawat.
Dari contoh kasus di atas dapat kita simpulkan bahwa Masyarakat kita sekarang ini tidak mampu berobat ke rumah sakit karena dirasakan biayanya sangat mahal. Pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah pun belum menjangkau keseluruhan masyarakat.
Dari sekian banyak dokter spesialis di Indonesia, saya sangat yakin bahwa hanya segelintir persen yang benar-benar bisa diandalkan. Bobroknya moral dunia kedokteran sebenarnya sudah dimulai sejak awal proses bagaimana seseorang itu bisa masuk di fakultas kedokteran. Biaya kuliahnya aja udah selangit. Konon lagi mereka-mereka yang mengambil jalur ekstensi.
Biayanya pasti lebih tinggi. Parahnya lagi bagi mereka yang berduit dan kuliah di kedokteran hanya untuk menjaga gengsi. Motivasi mahasiswanya juga berbeda-beda kan. Bayangin aja jika salah satu bidang paling vital di negeri ini, yaitu bidang kesehatan ditangani oleh lulusan fakultas kedokteran yang bermotivasi untuk mendapat ”duit”.
Pantas saja begitu mahalnya harga kesehatan di Indonesia. Kebanyakan dari mereka (saya tidak mengatakan semua), membuka praktek dan menetapkan tarif mahal kepada pasiennya agar bisa ”balik modal”. Tanpa peduli apakah pasien itu kaya atau miskin. Ini bukan hanya pendapat saya, tapi ini adalah pendapat publik. Pasien hanya dijadikan komoditas untuk memperkaya dokter.
Penganiayaan
TKI terakhir di Malaysia dialami oleh Siti Hajar yang dianiaya oleh majikannya
pada 2009. Mengangkat pembantu adalah sebuah pilihan berat karena pembantu
idealnya adalah partner kerja meskipun dia bekerja dibawah perintah kita.
Mereka bukanlah barang mati, yang tidak punya pikiran dan perasaan. Mereka
tentu punya juga keinginan untuk dihargai, dan tentu saja tidak bakalan menolak
jika diajak berkomunikasi secara baik dengan penuh kesantunan dan kasih sayang.
Karena itu, tidak selayaknya pembantu diperlakukan layaknya ata’ atau budak.
Dalam banyak kasus—semoga kita tidak termasuk diantaranya—seringkali pembantu
dipersamakan dengan budak. Yang selalu muncul di pikiran kita, ”pokoknya dia
harus nurut, kalau tidak awas!!". Kasus Siti Hajar diatas merupakan satu
bukti nyata dimana pembantu diperlakukan tak lebih dari seorang budak baginya.
Opini:
Menurut pendapat saya tentang contoh kasus diatas kedubes indonesia yang berada di negara tersebut harus bertindak tegas dan melindungi setiap TKI yang bekerja. Seharusnya para TKI tidak diperlakukan dengan kasar, karena mereka juga sama seperti majikannya, sama-sama manusia hanya saja nasib mereka kurang beruntung.
Sumber :
Opini:
Menurut pendapat saya tentang contoh kasus diatas kedubes indonesia yang berada di negara tersebut harus bertindak tegas dan melindungi setiap TKI yang bekerja. Seharusnya para TKI tidak diperlakukan dengan kasar, karena mereka juga sama seperti majikannya, sama-sama manusia hanya saja nasib mereka kurang beruntung.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Indo
http://gfebriani18.blogspot.co.id/2012/10/pelapisan-sosial-dan-kesamaan-derajat.html
http://csheilla.blogspot.co.id/2012/12/contoh-kasus-pelapisan-sosial-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar